VONIS BUSRIN VIS A VIS KEADILAN


Masyarakat hukum baru-baru ini digemparkan dengan vonis hukuman penjara 2 tahun dan denda 2 Milyar subsider satu bulan kurungan terhadap si miskin bernama Busrin (48). Buruh tani warga Dusun Mawar Rt 02/Rw 03 Desa Pesisir Kecamatan Sumberasih, Probolinggo harus rela menikmati pengapnya jeruji besi atas vonis putusan PN Probolinggo Nomor 179/Pid.B/2014/PN.PBL pada 22 Oktober lalu. Dalam amar putusan sidang majelis hakim yang terdiri dari Putu Agus Wiranata, Maria Anita dan Hapsari Retno Widowulan Busrin aliyas Karyo dinyatakan terbukti bersalah melanggar UU No. 27 tahun 2007 Pasal 35 hurf e, f, dan g. Dalam pasal tersebut diatur masalah larangan merusak ekosistem mangrove, termasuk menebang mangrove di kawasan konservasi. Adapun hukuman bagi yang melanggar sebagaimana tertuang dalam pasal 73  berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar setiap orang yang dengan sengaja menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.”

Nurani keadilan masyarakat terusik atas vonis terhadap si miskin pencari kayu bakar di kawasan hutan bakau (mangrove) untuk memenuhi kebutuhan memasak sehari-hari. Konstruksi hukum atas persoalan diatas harus dipahami bahwa pasal ancaman dan denda mestinya diterapkan pada kejahatan lingkungan yang bersifat korporasi, bukan kepada perorangan seperti Busrin. Seharusnya Majelis hakim dalam keputusannya menggunakan indigenous knowledge dan membedakan apakah mencari kayu bakar hanya untuk kebutuhan memasak tersebut memiliki motif kejahatan lingkungan atau merupakan bagian dari dari habitual action masyarakat sekitar pantai dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jikalau motif kedua yang dilakukan Busrin, maka saya khawatir nantinya akan banyak Busrin-Busrin lain yang terkena jeratan pasal tersebut. Karena bagi masyarakat sekitar pantai dan MSDH (Masyarakat Sekitar Desa Hutan) pada umumnya, mencari kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan memasak adalah bagian dari kebiasaan yang telah dijalaninya secara turun-temurun.

Kasus tersebut banyak menyita perhatian publik, dengan menggunakan logika hukum sederhana saja keputusan tersebut cacat epistimologis. Dimana rasa keadilan bisa didapatkan  apabila pedang keadilan hanya tegas dan tajam kebawah seperti kepada buruh tani miskin Busrin. Sedangkan palu keadilan hakim tumpul keatas ketika menghadapi kasus korupsi yang melibatkan elit seperti mantan anggota DPR RI Panda Nababan dkk yang menerima travel cek saat pemilihan deputi gubernur BI Miranda Gultom dari Nunun Nurbaeti. Vonis terhadap lebih dari 30 orang anggota DPR RI yang terlibat kasus korupsi tersebut divonis seragam antara 1 tahun sampai 1.5 tahun. Disisi lain vonis terhadap kasus Angelina sondakh adalah 12 tahun penjara dan denda 37 miliar atau diganti 5 tahun penjara, sementara terhadap mantan Hakim Syarifuddin dari pengadilan negeri Jakarta Pusat dan mantan Jaksa Andri Fernando dari Kejaksaan Agung hanyadikenai vonis hukuman 4 tahun penjara. Bahkan disparitas keadilan hukum dalam kasus Busrin semakin terasa ketika dibandingkan dengan perusak lingkungan skala besar.

Seperti yang dilakukan oleh PT SI dan PT SPI yang merusak 300 hektare kawasan pesisir di Desa Simpang Pesak, Kecamatan Dendang, Kabupaten Bangka Belitung dan hanya dihukum denda Rp 32 miliar. Pertanyaannya adalah kenapa kasus perusakan hutan mangrove dalam dalam bentuk alih fungsi lahan seperti yang terjadi pada pengalihan lahan mangrove seluas 1300 hektare menjadi lahan kebun kelapa sawit di Sumatera Utara dan reklamasi lahan mangrove seluas seluas 831 hektare menjadi lahan pemukiman tidak masuk katagori kejahatan lingkungan? Apabila logika hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas tersebut dibiarkan terus berlanjut, kasus vonis terhadap Busrin tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Saya justru kawatir jangan-jangan para petani (Masyarakat Sekitar Desa Hutan/Pantai) yang membawa alat-alat pertanian seperti parang, sabit dan sejenisnya juga dikenai pasal pidana, karena membawa senjata tajam.

Secara positivistik vonis Busrin telah selesai dan memiliki legitimasi yuridis normatif. Seharusnya hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya berdasarkan yuridis formal tetapi juga mampu melihat moral keadilan dalam keputusan hukum. Hukum jangan kehilangan daya nalar sosialnya yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan kemanusiaan. Vonis pidana terhadap Busrin secara yuridis benar, tetapi secara struktur sosial yang melingkupi kehidupannya belum tentu tepat. Hal itu bisa saja terjadi karena dalam tata kelola hutan mangrove membutuhkan suatu pendekatan komprehensive yang hanya terjebak terbatas pada mangrove itu sendiri. Hutan bakau (mangrove) mesti diposisikan sebagai sebuah ekosistem yang didalamnya ada tumbuh-tumbuhan mangrove yang memiliki berbagai jenis, ada fauna dan ikan laut serta yang penting lagi disana ada manusia, yaitu masyarakat sekitar desa hutan yang hidupnya saling mengalami ketergantungan. Maka dalam penegakan hukum hakim tidak diperkenankan hanya memartabatkan undang-undang tetapi mengabaikan hukum konservasi yang mengajarkan manusia menjadi penyemai lingkungan. Sehingga penegakan hukum harus dilihat secara seimbang pada tataran structure of law, content of law dan culture of law.  Dalam konteks ini, persoalan perusakan terhadap manggrove pasti ada akar persoalan mendasar yang melatarbelakanginya kenapa itu  terjadi. Bagaimana pengawasan dan pembinaannya, dan perusakan ini  murni kesalahan personal Busrin  atau justru kesalahan kolektif aparatur yang tidak menjalankan tupoksinya secara benar.

Secara sosiologis, kasus Busrin adalah cermin  dari structur sosial yang timpang dan tidak berpihak pada wong cilik. Ia hanyalah korban  dari kemiskinan struktural dari kebijakan pemerintah, bukan karena niat mengekplorasi alam untuk memperkaya diri dan keluarganya maupun orang lain. Pasalnya, kebanyakan warga pesisir di sana termasuk Busrin terpaksa mencari mencari kayu bakar dari pohon mangrove karena tergencat masalah kemiskinan akibat kebijakan alih fungsi hutan yang dilegalkan. Reklamasi ini menyebabkan mata pencaharian warga melalui laut semakin sempit. Penduduk pesisir yang menjadi nelayan akhirnya banyak yang menjadi pengangguran, jadi pemulung dan bekerja serabutan.

Ada suatu masalah eksistensial mahabesar dan mendasar dibalik vonis ini yang menuntut adanya sensitivitas keadilan seorang hakim agar undang-undang tidak kontraproduktif yang bisa membahayakan kehidupan warga miskin. Kearifan  dan kepekaan sosial seorang hakim melalui ketokan palunya akan menjadi taruhan masa depan para pencari keadilan apabila ia tidak mampu membaca akar persoalan dari setiap aksi pelanggaran hukum yang dilakukan warga miskin. Sebagai pilar  keadilan bagi penegakan hukum, kita membutuhkan jaksa, hakim, advocad dan polisi yang setia pada nurani keadilan dari pada menuruti vested interest bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam situasi dan kondisi apapun keadilan harus ditegakkan jika hukuman memang bukan hanya diperuntukkan bagi orang miskin dan tidak berdaya, sementara bagi para penguasa, pengusaha dan politisi nanti dulu, karena mereka memiliki akses sumberdaya kekuasaan dan politik serta yang tdk kalah pentingnya mereka punya sumber dana yang besar. Wallohu a’lam bi al-Showwab

Oleh: Suripto
Direktur LP2M PAMA Trenggalek

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "VONIS BUSRIN VIS A VIS KEADILAN"

Post a Comment