Pembangunan Berbasis Kerakyatan



Masyarakat (baca: rakyat) selain sebagai assets juga merupakan liabilities yang harus diberdayakan dalam konteks pembangunan. Agar pembangunan menjadi suatu proses yang dinamis atas kekuatan sendiri (self sustaining process) sangat diperlukan adanya proses emansipasi diri (inner will process). Sebab suatu partisipasi kreatif dalam proses pembangunan hanya menjadi mungkin apabila pendewasaan dalam dimensi substantive (pemberdayaan potensi dasar pembangunan), senantiasa diupayakan. Pemberdayaan potensi dasar tersebut erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasinya.


Sejarah telah membuktikan bahwa strategi dan kebijakan pembangunan orde baru yang menempuh jalur top down hanya memposisikan rakyat sebagai obyek yang semakin termarginalkan dan meniadakan akses lapisan akar rumput (grassroots) terhadap pembangunan. Sehingga peran negara menjadi sangat dominan dan regimentatif. Negara menjadi mesin pembangunan dan aktor yang hadir dimana-mana untuk menentukan segala-galanya demi mengejar target.


Untuk mewujudkan tatanan sosial yang kondusif bagi  kehidupan berbangsa dan bernegara, pembangunan harus menempatkan rakyat sebagai subyek (pemeran pembangunan) bukan hanya sebagai obyek yang tak ternilai. Pembangunan harus ditumbuhkan dari bawah (bottom up) dan rakyat harus dipercaya bahwa mereka mampu untuk mendefinisikan kebutuhan dan harapan-harapannya. Melalui kecenderungan ini, pembangunan bukan hanya sekedar mengejar target, sehingga tidak mengindahkan proses. Akan tetapi pembangunan harus lebih menekankan pada proses supaya tidak terjadi kontradiksi dengan tujuannya.


Dalam pada itu, konsep community based development (pembangunan berbasis masyarakat) harus secepatnya direalisasikan, bukan hanya sekedar slogan kalau tidak menginginkan pembangunan justru menjadi beban. Teori-teori dan konsep empowerment, participatory dan upaya-upaya yang mendorong berjalannya mekanisme check and balances sudah sangat mendesak untuk  diderivasikan secara praksis didalam setiap program pembangunan. Menempatkan participatory masyaraklat sejak dari perumusan konsep pembangunan inilah akan lahir keberdayaan, dan kemandirian atau apa yang kita pahami sebagai proses perubahan.


Begitu pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka sering kali kita jumpai kegagalan pembangunan disebabkan justru tidak adanya partisipasi. Mangkraknya proyek pemereintah daerah yang didanai APBD maupun APBN dibeberapa daerah adalah sederet contoh yang dapat kita saksiskan betapa lemahnya keterlibatan rakyat dalam pembangunan. Meskipun ungkapan-ungkapan “partisipasi adalah kunci utama yang menentukan keberhasilan proses pembangunan”, lebih sering diucapkan dalam bentuk retorika dan pidato para pejabat , caleg dan cabub/cawabub  yang mencari simpati dukungan ketimbang dipraktekkan.


Rakyat sudah terbiasa mendengar slogan pembanguna berpusat pada masyarakat (people centered development) atau slogan partisipasi dari rakyat (popular participation). Tetapi slogan-slogan tersebut memang sengaja digagas oleh para ahli dan professional hanya untuk mengegolkan sebuah proyek yang mereka perjuangkan. Apabila dicermati secara kritis ternyata apa yang terjadi, ada sesuatu yang slah dalam pemahaman kita tentang partisipasi tersebut. Keterlibatan rakyat sebagai stakeholder utama pembangunan belum sampai pada tingkat partisipasi, tapi masih terbatas pada tahap mobilisasi. Rakyat hanya dijadikan target group dari sebuah proyek, mereka hanya dilibatkan pada fase akhir dari sebuah pembangunan, yakni pada pelaksanaanya saja. Mereka tidak pernah diajak bicara pada fase awalnya, sehingga mereka sama sekali tidak tahu bagaimana sebuah perencanaan pembanguna bisa dibuat.


Adalah sebuah fakta historis bahwa sebuah program pembangunan  atau proyek dapat berhasil secara efektif, efisien dan ekonomis apabila semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan juga dilibatkan dalam perencanaannya bahkan sampai pada monitoring dan evaluasinya. Karenan adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan sejak dari perencanaan, maka pemahaman mereka terhadap  konsep, tujuan dan komitmen mereka  dalam pembangunan akan semakin meningkat. Abraham Lincoln pernah  mengatakan bahwa”kalau saya diberi waktu 9 jam untuk menebang pohon, maka saya akan menggunakan 6 jam untuk mengasah kapak”. Ini artinya betapa pentingnya perencanaan  dalam sebuah pembangunan, dengan membuat perencanaan yang baik berarti separoh pekerjaan sudah kita selesaikan. So pasti dengan perencanaan yang jelek dan meniadakan peran rakyat pada tingkat ini, pasti dapat dijamin program pembangunan sebaik apapun akan amburadul dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan real masyarakat.


Oleh: Suripto
(Direktur Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (PAMA) Trenggalek-Jawa Timur)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pembangunan Berbasis Kerakyatan"

Post a Comment