Bersamaan dengan hiruk pikuk disahkannya undang-undang PILKADA yang baru tahun 2014, pemberlakuan otonomi daerah hampir memasuki tahun ke empat belas. Sebuah masa yang sangat singkat bagi seorang pejabat yang sedang berkuasa, tapi merupakan waktu yang teramat panjang bagi rakyat miskin yang menanti perubahan nasib hidupnya. Filosofi otonomi daerah sebenarnya menegaskan kembali makna demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya otonomi daerah harus difahami sebagai upaya pelimpahan kekuasaan dari pemerintah kepada rakyat. Akan tetapi kalau otonomi daerah difahami hanya sebatas pelimpahan kekuasaan dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah maka yang terjadi hanyalah bagi-bagi kekuasaan ke elit-elit lokal yang menempatkan rakyat tetap pada posisi yang termarginalkan. Nasib rakyat tidak akan banyak berubah karena kemakmuran dan kesejahteraannya tersandra dan berhenti cukup diwakili oleh wakil-wakil kita di DPRD.
Episode drama politik yang berjudul otonomi melahirkan euphoria politik yang teraktualisasikan melalui bangkitnya PCO (Political Civil Organization) ditingkat lokal. Sehingga lahirlah PBB (Politisi dan Birokrat Baru) dalam struktur pemerintahan kita. Apabila fenomena ini tidak diimbangi dengan pendidikan politik yang berjenjang, terstruktur dan berkelanjutan dibasis-basis partai politik, tampilnya pemain baru menjadi elit-elit daerah justru akan memperkeruh keruwetan dan kesulitan konsolidasi ekonomi dan politik.
jabatan apapun namanya pada hakekatnya amanah yang harus dipertanggung jawabkan bukan saja kepada rakyat tapi juga kepada Tuhan.
Dalam pada itu, penulis merasa perlu untuk merefleksikan jati diri sebuah kekuasaan, bahwa jabatan bupati, wakil rakyat, kepala instansi atau jabatan apapun namanya pada hakekatnya amanah yang harus dipertanggung jawabkan bukan saja kepada rakyat tapi juga kepada Tuhan. Karenanya menjadi birokrat dan politisi harus dikawal agar mereka tidak terjebak dan larut dalam kenikmatan semu kekuasaan.
Ditengah-tengah kesulitan ekonomi kita, godaan kekuasaan memang sangat menggiurkan dengan berbagai fasilitas dinas, gaji dan berbagai tunjangan yang besar, meskipun itu semua dikelola dari uang rakyat baik yang bersumber dari pajak maupun retribusi. Disini perlu penulis sampaikan bahwa hidup sebagai rakyat diera sekarang ini memang multi sulit apalagi jadi pejabat. Tetapi dengan tingkat kesulitan dan keruwetan itulah nilai kemanusiaan justru ditegakkan. Karena sesungguhnya segala fenomena yang membentur jidat kenyataan adalah media edukatif Tuhan yang sudah disekenariokan sedemikian rupa sebagai tangga-tangga sejarah dalam memi’rojkan diri kehadhiratnya.
Saya kira diciptakannya iblis justru untuk menegaskan eksistensi Adam sebagai khalifah dimuka bumi dengan tingkat pengujian-pengujian yang terus menerus. Seberapapun tingkat kesulitan hidup yang mendera rakyat baik secara ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan maupun kesulitan dalam memerangi diri sendiri, hanyalah sebagai kentut sejarah peradaban manusia yang justru mendidik, walaupun hal itu terasa pahit dan menjengkelkan.
Kenyataan rakyat-wakil rakyat-pejabat, buruh-majikan, kaya-miskin, desa-kota dan lain sebagainya itu adalah tampilan-tampilan lahir yang pada esensinya menyuarakan kidung yang sama. Itu semua adalah instrumen-instrumen pelengkap keberadaan manusia beserta kemanusiaannya. Dengan kata lain dalam discourse filsafat Islam hubungan “Keakuan” dan “Kediaan” dalam kesatuan kesadaran dipandang sebagai sejenis “Korelativitas (Tadhayyuf)”, saling memberi dan mengisi. Ke-QZR-an (baca: Keqizruhan) terjadi dimana-mana apabila masing-masing pihak merasa lebih berhak mengada dari yang lain. Sistem nilai dibangun diatas pondasi rumusan-rumusan kuantitatif ruang dan waktu yang temporal-aspektual.
Sebagai rakyat tempatkan diri anda untuk tidak terkesima melihat besarnya jumlah gaji dan tunjangan wakil rakyat beserta fasilitas lainnya, barangkali disitu tersimpan mutiara keindahan bagi rakyat yang hanya bisa dinikmati bila dengan jeli menumpahkan seluruh potensi kemiskinannya, dan toh itu semua hanyalah peristiwa budaya (shock cultural) yang mereka anggab sebagai upaya balas dendam terhadap kemiskinan yang selama ini menerpa dirinya. Mana mungkin ada gaji kecil kalau gaji besar tidak boleh mengada. Bagaimana ada yang miskin kalau orang kaya tidak boleh ada. Segala sesuatu itu saling menentukan dan mengukuhkan.
Lebih-lebih bila kita melihat lebih jauh bahwa katagori dan penampakan pejabat dan wakil-wakil rakyat kita, lebih merupakan persoalan mentalitas perilaku daripada persoalan struktural semata. Sebagai rakyat didaerah jangan terkesima melihat kenyataan sulitnya mencari sesuap nasi sementara seorang bupati dan wakil rakyat yang kita pilih hidup seba berkecukupan dengan mobil dinas beserta gaji dan fasilitas penunjang lainnya yang besarannya justru berbanding terbalik dengan kehidupan rakyatnya. Belum lagi perilaku KKN antara penguasa-pengusaha-politisi dalam memperebutkan proyek-proyek yang didanai APBD. Mereka-mereka hanyalah mewakili fenomena sosial yang harus disuarakan secara lebih jujur, menembus dinding keterbatasan dirinya. Kenyataan inilah yang hadir dalam kebijakan otonomi didaerah kita. Mari kita lawan tampilan perilaku birokrat dan politisi yang menyingggung sisi kemiskinan dan kejujuran rakyat dalam teatrikal sejarah kekuasaan yang menurut Lord action: Power tend to corrupt and absolutely power tend to corrupt absolutely, Wallohu a’lam bishowab.
Oleh: Suripto, Direktur LP2M PAMA Trenggalek
0 Response to "Teaterikal Kekuasaan"
Post a Comment