Jalan Kecil Menembus Dongko Munjungan


Nature is what we see/ The Hill; the Afternoon/ Squirrel; Eclipse; the Bumble bee
Nay; Nature is Heaven/ Nature is what we hear/ The Bobolink; the Sea/ Thunder; the Cricket
Nay; Nature is Harmony/ Nature is what we know/ Yet have no art to say/ So impotent Our Wisdom is/ To her Simplicity.
(Emily Dickinson)

Sore itu, untuk pertama kali saya dapat menapak di jalur yang sudah lama ingin saya jejak. Di tengah suasana yang hampir gelap, sebentar lagi saya benar-benar akan melintasi jalan yang masih asing ini. Ada perasaan senang bercampur penasaran. Tapi juga terlintas sesuatu yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Berbekal ”arahan dan petunjuk” dari seseorang, sebelum saya mengambil arah ke kanan dari jalan raya Dongko (Cakul)-Trenggalek, tanpa memperhatikan detail petunjuk itu, 20 menit kemudian saya tersesat di tengah jalan. Bukan tersesat, tapi menyasar. Saya tersasar agak jauh ke Selatan, tepatnya hingga daerah yang bernama Watu Agung.

Perjalanan itu pun, mau tak mau harus balik arah. Dan dengan terpaksa memotong waktu agak lama (tadi sebelum berangkat saya sengaja memasang jarum jam untuk mengukur durasi). Saya baru tahu kesasar, setelah sebelumnya sempat bertanya pada seorang petani yang kebetulan melintas di pinggir jalan. Ini akibat terpesona melintasi jalan baru, dan tak begitu peduli lagi detail-detail belokan di jalur tersebut. Pendek cerita, seseorang yang kebetulan rumahnya dekat pertigaan, sempat mengantarkan saya hingga belokan atau simpang menuju arah Kayu Ireng (Munjungan). Setelah mengucapkan terimakasih, saya pun kembali menggedor motor.

Biasanya melewati jalan yang sama sekali belum pernah kita lalui, yang tertinggal di pikiran adalah ”bayangan”. Dari segenap rumor yang mampir atau perbincangan yang ada; ihwal keterjalan jalan itu, kelokan dan kemiringannya, tanjakan juga permukaannya yang tak rata. Batu-batu kecilnya yang melulu seperti kulit terkelupas. Bahkan, punggung jalannya yang licin saat musim penghujan tiba. Kerikilnya yang tak lagi digigit aspal adalah isyarat supaya kita tetap awas dan berhati-hati. Sebab, tak jarang kondisi seperti itu membikin roda sepeda kita keseleo di tengah jalan. Dan kemudian oleng begitu saja. Jadi kita memang harus pandai-pandai memilih pijakan yang tepat untuk mendaratkan roda motor, di saat jalan curam atau menanjak. Atau sekadar teguh (kata orang mesti tatag) menghadapi kerikil makadam yang mencuat tak karuan itu. Belum lagi pasir dan batu-batu kecil yang menyebar di sekujur jalan.

Tapi saya tetap menyukai jalan pegunungan yang meski terjal, tapi banyak menyuguhkan bentang alam yang elok dan rupawan. Keindahan alam yang bi(a)sa kita peroleh secara gratis dari atas pegunungan atau baris perbukitan. Sebuah keindahan yang menghamparkan ”kehijauan” yang tentu jarang atau tidak bisa dijumpai manusia-manusia pemuja eksotisme kota. Sebab, mereka kadung akrab dengan gedung-gedung tinggi berselimut cat dan kaca, bangunan market yang perlente dan sekian gedung angkuh yang menjajakan kapitalisme modal berwajah mall dan ritel. Ya, pendeknya sederet bangunan yang kerap memakan lahan, memojokkan ruang tata hijau kota yang sudah sempit dan tentu saja kerap menciptakan berbagai sengketa (tanah) dan pergusuran. Alam pegunungan berbeda. Keindahan dan warna hijaunya itulah yang, antara lain, tetap menjaga hati kita untuk menyukainya. Yang meminta mata kita betah memelototinya. Yang merekatkan kaki ini untuk menyusuri detail demi detail liku-liku jalannya. Pada akhirnya, kelak dari jauh membikin kita rindu melintasinya lagi. Untuk memasang kenangan atau sekadar membuang perasaan duka dan luka. Dan melintasinya pada suatu masa, untuk mengingatnya kembali. Bahkan menjadi ”tempat” untuk membuang jauh-jauh naluri kebinatangan atau hasrat besar manusia untuk selalu mengeksploitasi alam.

Tapi keindahan alam bukan digunakan untuk itu saja. Yang lebih penting, kita dapat lunas memandanginya sampai jenuh atau hingga mata lelah. Maksudnya sampai pikiran kita menemukan ”sesuatu” yang membuat hati ikut tersenyum tandas. Ini sesuatu yang jamak ”bekerja” pada mata kita, atas apa yang diberikan alam, jika kita memandangnya. Tapi saya yakin, tiap-tiap orang punya keinginan dan hasrat yang sifatnya ”pribadi” saat memandang alam yang hijau itu. Untuk menautkan dengan sebuah perasaan tertentu dalam hatinya masing-masing. Tampaknya hal seperti itulah dulu yang banyak mengundang pendapat sekaligus debat panjang dalam filsafat dan kesusastraan. Antara lain, misalnya apakah alam bisa bermakna tanpa indera kita. Ataukah alam telah menemukan dirinya sendiri, meski tanpa kita resapi. Dan persoalan-persoalan sejenis yang lebih banyak lagi. Teringat penggalan terakhir puisi Emily yang patetis di atas: …Nay; Nature is Harmony/ Nature is what we know/ Yet have no art to say/ So impotent Our Wisdom is/ To her Simplicity.

Hmm.. kembali ke soal jalan. Jalanan tembusan Dongko-Munjungan melalui Cakul sampai Kayu Ireng memang kecil, selebaran kira-kira 2 meteran. Jalan itu bisa saja mengecil hingga 1,5 meter atau melebar lebih dari 2 meter tergantung kondisi medan maupun geografi tanah. Tapi elok dengan rimbun pinusnya yang mendominasi. Dan persawahannya yang sesekali terlihat dikitari bukit-bukit hijau yang seksi. Dengan tanaman petani yang menghampar di kejauhan. Berbagai pohonan di sana tumbuh rindang: sengon, wali tanah, mahoni, pohon kelapa, pohon cengkeh, durian, pohon pisang, dan tentu saja berderet pinus yang membentuk permukaan gunung kian indah dan menghijau. Perjalanan saya melewati jalan beraspal meski tak mulus amat. Sungguh mountain trail yang menyenangkan. Dalam keadaan seperti itu, kita sering sekali membetulkan barang bawaan di belakang, barangkali ada yang terjatuh atau sekadar menata letak duduk karena bokong kecapekan. Sayang, tanpa membawa GPS dan sejenisnya, kita tak tahu letak ketinggian kita secara pasti dari permukaan air laut. Ada tiga pertigaan kiranya yang harus dilewati di jalur ini. Hati-hati mesti cari belokan ke Timur yang presisi. Supaya tak kesasar atau salah jalan nanti. Dan mata ini dengan gembira akan senantiasa menerima setiap ”yang terlihat” dengan ratusan keindahan yang terpampang dan yang bergelantungan.

Dulu Multatuli pernah memerikan kondisi jalan yang seperti itu dalam Max Havelaar. Kala itu Douwes Dekker (Multatuli) sedang menumpang sebuah kereta kuda. Dan sepertinya perjalanan itu sempat melintasi perbukitan. Jadi beberapa fragmen dalam buku itu pernah sedikit menggambarkan kondisi jalan di masa lau. Saat kereta yang ditumpangi Multatuli itu melalui jalan perbukitan & sedikit pegunungan yang mungkin dikitari jurang, Multatuli memekik: "...Tuhanku, jalannya...hilang! kita akan jatuh ke jurang!". Ya, memang begitu kelihatannya. Jalannya menekuk, seolah terlipat ke bawah. Karakter jalan-jalan seperti itu juga akan kita jumpai pada jalur-jalur di daerah Trenggalek: Kampak-Munjungan, Dongko-Kampak juga Munjungan-Prigi.

Tapi sebenarnya, saya pribadi lebih suka memulai perjalanan ini dari arah Dongko, sebab saya merasa lebih khusuk untuk menekuni keindahan pantai dari atas, juga menikmati lembutnya udara pegunungan dan menyesapnya dalam-dalam. Selain itu, mata bisa terpuasi oleh elok pemandangan sepenuh penglihatan. Tak sebagaimana jika memulai perjalanan ini dari arah Timur (Munjungan). Sebab, saat memasuki batas dua kecamatan ini, yang terpisahkan oleh perlintasan dua gunung, kita hanya akan memunggungi sepotong laut itu dari ketinggian. Sayangnya, pada jalur ini, tak kita temui (tepi) sungai dengan air pegunungannya yang jernih dan batu-batu besarnya yang hitam mengilat. Seingat saya, mungkin hanya sekali saja kita jumpai, yakni saat melintasi daerah Dongko sebelum pertigaan Pandean. Tentu saja, dari penilaian subjektif saya, jalur ini lebih baik dari jalur Kampak-Munjungan, Dongko-Kampak atau Munjungan-Prigi, sebagai sesama jalur yang sejak lama mengangakan maut di bawahnya.

Agaknya, jalan tersebut masih jarang dilewati kendaraan. Selain bukan jalur transportasi ke kota, jalur ini terhitung sempit. Sehingga barangkali orang lebih memilih untuk melewati jalur yang lebih besar. Meski begitu, kendaraan besar sesekali juga terlihat melintas, di samping sepeda motor. Di hampir sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk tertampung atau menampungkan diri di perbukitan-perbukitan kaki gunung. Saya tak yakin air bisa mengalir lancar di sini, ketika musim kering atau panas tiba. Malah debu-debu akan membumbung tinggi saat angin bertiup. Tapi begitulah, tata rumah di perbukitan, justru terlihat indah dan eksotis dengan letak yang begitu. Dan, di atas ketinggian itu, pikiran kita sering pula dipenuhi berbagai hal yang mampir berseliweran. Ya, kelebat pikiran yang menyambangi kepala, ketika kita tak sedang di tempat biasa. Dan kita ingin segera mengguratkan semuanya. Meski tak bisa. Ingatan kita pun sering terbang dari rumpun ke rimbun. Dan di ujung aspal penghabisan yang buruk, kita akan tersenyum. Kita telah sampai tujuan... (to be continued)

MISBAHUS SURUR
Penulis Kelahiran Munjungan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jalan Kecil Menembus Dongko Munjungan"

Post a Comment