Strings in The Earth and Air
Make music sweet;
Strings by the river where
The willows meet
There,s music along the river
For love wanders there
Pale flowers on his mantle
Dark leaves on his hair
All softly playing
With head to the music bent
And fingers straying
Upon an instrument
(James Joyce)
Telusur sepanjang (per)jalan(an) kali ini diiringi lengkung dan liku pantai. Dengan rupa-rupa tebing ”pembatas” yang landai dan padas. Dari daratan yang kuinjak ini, sementara lautan ke sana jauh memanjang, jauh terbentang. Seolah tanpa batas. Itulah Lautan Hindia. Sebuah samudera maha luas, yang kita tak sama tahu, dulu nama tersebut dilekat-kenalkan oleh siapa dan sejak kapan. Perlu mencari penjelasan seorang etnolog, atau setidaknya indolog, untuk menelusuri riwayat dan jejak awal dipakainya sebutan itu. Barangkali saja ini istilah problematis lagi politis, sebagaimana halnya persoalan (nama) ”Indonesia” dulu.
Ya, sekarang aku melintas di tepi. Dan ± semeter dari sini, ke selatan sana adalah tebing ke bawah: dinding laut. Sebuah pagar alam yang memisahkan daratan dan lautan. Yakni dataran tinggi pegunungan perbukitan yang bertemu titik laut, untuk membedakan dataran rendah yang disambung pasir kemudian air laut (pantai). Dari arah mataku, dari pandangan siapapun yang mungkin berdiri pada lokasi yang sama denganku, dari daratan sini, laut di-perspektif-kan dari berbagai bentuk sebagai ”tepi” yang menawan, bak lintasan pemisah purba. Maka, apa yang disebut pantai adalah ketika air asin dihampar-temukan dengan pasir, lalu kerikil (kalau ada), kemudian membentuk ombak lalu pecah di tepi. Sementara untuk air laut yang bertemu tepian karang dan tebing-tebing tinggi hitam menjulang, lalu terbentur di situ, entah harus dengan istilah apa disebut, sekadar untuk mewakili.
Aroma laut lamat-lamat mulai genap tercium. Makin ke barat makin ranum. Harum udara bukit juga tiba-tiba memapak hidung. Di sekeliling jalur ini, hamparan hutan yang molek, sunyi alam pegunungan, menyambut sekian pengendara motor, pejalan kaki juga pencari rumput dan pemulung kayu bakar. Suara angin semilir terus mengalir, sesekali melewati kemudi, celah rambut kemudian beralih ke punggung. Merabainya pelan-pelan dengan luapan khayali dan kegembiraan bau rempah alami. Dan, sedari awal perjalanan ini, kita memang diawasi bentang laut dengan kebiruan indahnya. Hmm.., Jalur Munjungan-Panggul sungguh menghampirkan suguhan kaya tadi. Kendati jalurnya terbilang kecil dan agak sempit. Inilah jalur yang kelak rencananya akan digesa menjadi Jalur Lintas Selatan (JLS) itu. Entah apa jadinya?
Ranting-ranting kecil pohon pinus dan dedaunannya yang coklat berserak di pinggir-pinggir aspal. Jalin-menjalin dengan rumput dan semak belukar, seolah menganyam kebersamaan. Kadang, terlihat juga di tengah jalan itu, daun coklat baru saja gugur berserak tak beraturan menunggu angin laut yang mengembus dari sela-sela pohonan menyapunya ke pinggir. Ingin rasanya berhenti, berjalan, berlari-larian menghambur di sela dauh-daun jatuh. Memungutinya barang sejenak, merasakan terpaan angin segar. Sembari –sebelum benar-benar beranjak-- sekali dua memindai kenangan dan membingkis ingatan. Udara tengah hari yang berdesir dari arah pantai, membuat suasana dan pemandangan kian segar. Membikin ”rasa nyaman” yang tak ternilai, juga keasyikan yang tak butuh dilukiskan. Meregangkan kulit hari yang seperti melulu melepuh tersengat matahari, juga kerak bumi yang terselimuti jelaga abadi. Dan kita bak berjalan di tengah rangkaian pohon willow yang menjulang dari dunia dongeng yang tak kita kenal, muasalnya. Ah, seperti rangkaian sajak Joyce saja: Strings in The Earth and Air/ Make music sweet;/ Strings by the river where/ The willows meet…
Sehabis kita memasuki rimbun pinus yang mengapit jalan kecil beraspal kacau, yang batang-batangnya lurus berderet serempak bak barisan prajurit bala tentara sebuah kerajaan kuno ini, petanda sebentar lagi kita akan memasuki perlintasan dua bukit, tepatnya gerumbulan pohonan, yang memisahkan dua kecamatan; Munjungan dan Panggul. Dari balik daunan, batang pisang, rimbun bambu dan ketela, lorong jalan itu sebentar lagi menyuguhkan celah sebuah pemukiman. Tentu daerah pemukiman itu adalah Panggul. Sebuah kota kecamatan dengan bentang sawah hijau dan garis pantainya yang dapat lekas terintip dari atas situ (dari penghabisan desa Ngulung Wetan); entah Pantai Joketro, entah Konang atau Pantai Pelang yang tampak itu. Sawah dan pantai itu mendadak seperti amunisi yang sanggup mengisi-kumpulkan kembali tenaga kita yang baru tercecer habis: morat-marit di jalan sulit yang baru saja kita lewati. Seolah memberi bekal berupa tenaga baru untuk mengayuh motor ini lebih tangkas dari sebelumnya. Agar cepat sampai tujuan.
Motorku baru saja melatai aspal-aspal jalan yang sebagaian kecil halus tapi bundas-bundas hampir secara keseluruhan. Semoga ban motor tak sampai kempes di tengah jalan kecuali sudah sampai tujuan. Dan baut-baut besi ini semoga aman terkendali tak mrotoli. Hanya hal-ihwal itulah kiranya yang menjadi satu-satunya harapan yang terus dikepal di tangan, sembari tetap memegang erat setir sepeda motor agar tak oling. Ya, baru aku lalui Craken, Ngulung Kulon, Sobo, Ngulung Wetan di antaranya adalah nama-nama desa bagian barat Munjungan. Sebelum akhirnya saya turun di Banjar, nama sebuah desa ujung timur wilayah kecamatan Panggul.
Sebelumnya, dari atas jalan pesisir yang menyuguhkan jurang langsung ke laut itu, mataku tak henti-hentinya mengawasi gugusan pulau-pulau kecil yang berserak tak beraturan. Yang kian menambah molek pemandangan laut. Sebagian di antara pulau-pulau itu bernama dan aku tahu namanya sejak kecil, meski sebagian yang lain bagiku masih anonim. Yang bernama itu antara lain Prenjono dan Mani’an, memang terlihat indah meski dari kejauhan. Kata orang, di sana banyak dinaungi sarang burung walet dan burung sejenisnya, yang tentu harganya mahal. Sepanjang Munjungan-Panggul juga berderet pohon-pohon khas pegunungan selatan; Walitanah, Sengon, Kelapa, Jati, Salam, Mahoni, Nangka, Akasia, Pinus dan yang tak kalah banyak adalah pohon Cengkih yang menghampar. Di sinilah salah satunya tanaman ini menghijau sepanjang jalan. Dan tumbuh liar hingga ke atas pegunungan sana. Aku tak tahu sejarahnya pohon ini (Cengkih) sampai di Trenggalek, dari daerah asalnya yang di Ambon itu. Barangkali dibawa para pedagang zaman dulu atau entah bagaimana kisahnya, perlu lah dicari alurnya di lain hari.
Jalanan sempit di jalur inipun lumayan berat, meski aspal sebagian telah diperbaiki, terutama di jalan menanjak sebelum memasuki desa Ngulung Kulon (Munjungan), tapi setengahnya masih merupakan aspal yang buruk. Belum lagi melintasi jembatan-jembatan kecil yang beberapa bagiannya rusak dengan sungai yang meski pun kecil airnya tetap jernih mengalir. Kerap kali saya harus berhenti saat aspal buruk dan lubang menghadang. Saya berhenti sekadar mengamati atau memotret dengan kamera hp yang buruk dan sesekali berhenti untuk memelototi, melihat tekstur jalan yang tak rata itu. Entah bagaimana permulaannya, melihat permukaan jalan yang begitu itu, permukaan yang tak rata itu, tiba-tiba pikir saya, jalan itu seperti hamparan pulau dan lautan di Nusantara kita ini. Bagi aspal yang masih utuh pikiranku menunjuk itu sebagai pulau-pulau; itu pulau Kalimantan, ini Jawa. Di sana itu Sulawesi dan itu pulau Irian. Sedang untuk jalan berlubang, yang cukup lama menyembulkan makadamnya yang runcing itu, saya andaikan sebagai hamparan lautan; ini samudara Hindia, itu laut Jawa. Yang itu laut Cina Selatan. Dan yang sebelah sana itu, laut Banda. Setelah hal yang tak penting sempat mampir pikiran itu, saya pun lalu memilih lintasan mana yang harus saya lalui.
Panggul kota kecamatan yang rindang. Sama dengan Munjungan daerah ini punya iklim tropis pantai dan curah hujan yang tinggi sebagai efek dari pertemuan angin dua arah; Darat dan Laut yang kemudian bersatu di lembah. Panggul seperti Munjungan, seolah kota kecamatan yang hilang dan baru diketemukan. Ini barangkali pengalaman bagi yang pertama mengunjungi daerah-daerah kecamatan di sebalik selatan gunung-gunung di Trenggalek ini. Atau bagi mereka yang menyusuri jalan yang tak mereka kenal sebelumnya dan tertegun dengan alam yang menghampar di sekelilingnya. Dari segi infrastruktur saya menilai ada kesamaan dua wilayah kecamatan di kabupaten Trenggalek ujung selatan ini. Namun ketika melihat lebih banyaknya sekolah yang bertebaran di Panggul, mestinya mutu pendidikan di Panggul lebih baik dari Munjungan.
Ihwal Munjungan, agak aneh juga kota kecamatan ini dulu namanya sama sekali tak pernah tergores di peta. Masa-masa sekolah dasar dulu, saya selalu kerepotan mencari titik letak kecamatan saya itu. Setiap kali saya buka peta, saat pelajaran geografi maupun ketika menemukan peta di perpustakaan sekolah, tak jarang mata saya selalu mencari-cari letak persis dan lokasi tempat saya lahir itu. Tapi, ya, selalu tak pernah kutemukan nama kecamatan saya itu. Sehingga saya selalu mengira dan menebak-nebak di dekat Teluk Sumbreng inilah, di sebelah utaranya ini kira-kira letak daerah Munjungan. Namun beberapa tahun setelah lama saya tak pernah menyentuhi peta lagi. Ternyata ada nama Munjungan tertera di sebuah peta yang barangkali terbit atau bikinan baru. Betapa senang waktu itu. Soal Munjungan, ini adalah nama salah satu kecamatan di ujung selatan kabupaten Trenggalek. Kita tahu, Trenggalek bukanlah daerah tandus, tetapi daerah yang membentang hijau. Dan, salah satu kawasan hijau itu selain Panggul, Watulimo dan Bendungan, juga adalah Munjungan. Munjungan terletak di sebelah barat pantai Prigi, sebelah timur pantai Panggul. Daerah ini menyempit di antara ngarai-ngarai kaki puluhan gunung dan bukit yang menghampar luas di sekelilingnya. Sedang arah selatannya adalah bentang laut lepas Hindia yang menghampar sejauh mata memandang.
Munjungan, kawasan yang menyempit dalam balutan eksotisme alam. Pegunungan dan hutannya yang hijau itu seolah berkah dari yang Maha Kuasa untuk masyarakat yang berdiam di sekitarnya. Sedang untuk jalanan yang memotong kaki bukit dan gunung sebelah utaranya, kendati merepotkan, baik jika melaluinya lewat kecamatan Dongko atau dari arah kecamatan Kampak, betapa itu menyembulkan nuansa fotografi alam yang sungguh memikat. Galibnya jalanan di Munjungan di samping terjal memang berkelok, dengan struktur tanah yang meliuk, naik-turun dengan karakter kemiringan tanahnya yang agak parah. Apalagi jika tiba musim hujan, jalur itu bisa berubah becek dan agak berbahaya bagi yang berkeinginan melintas. Namun, sekali lagi, jika kita menyusuri jalan pegunungan ini, betapa di arah selatannya mata kita akan segera menyambangi ramuan pemandangan laut luar biasa indah. Area hutannya, selain menjadi area konservasi, juga merupakan kawasan sumber holtikultura yang memendam kekayaan alam yang melimpah. Untuk teknik agrikultura yang diterapkan di area-area pegunungan ini juga masih terbilang sederhana, meskipun telah bergeser ke arah tata modern. Namun untuk area daratan yang datar --yang sebagian besar untuk pertanian padi dan sisanya untuk perkebunan-- pengolahan tanahnya yang semula dilakukan dengan memakai cara tradisional dan jasa hewan ternak semisal kerbau dan sapi untuk membajak seperti pada kawasan-kawasan tradisional pada umumnya, barangkali sudah sulit kita temukan lagi. Sebab, mesin-mesin seperti traktor telah lama dikenal masyarakat sebagai pengganti kerja hewan ternak tersebut.
Di Munjungan kita bisa tak puas menikmati dan bermanja-manja dengan belaian angin pegunungan yang berhawa sejuk dan tropis. Bayangkan, hembusan angin itu seolah bau harum bidadari tersesat di keelokan panorama alam yang memikat. Persawahan yang tergelar membentang membelah desa-desa. Tak banyak orang tahu akan keindahan alam ini, karena akses jalan yang sulit dan terjal. Bahkan masyarakat Trenggalek sendiri belum banyak yang berkunjung, untuk mengetahui kondisi Munjungan yang sebenarnya. Kebanyakan dari mereka hanya tahu dari obrolan dan cerita-cerita jalannya yang medeni (ngeri), tanpa mengetahui kondisi sesungguhnya.
Mayoritas masyarakatnya yang bermata pencaharian agraris dan sistem pertanian yang menjadi basis pangan membikin masyarakat tercukupi secara ekonomi. Hal ini didukung dengan melimpahnya air pegunungan sebagai sarana irigasi. Di samping itu, sektor maritim yang juga tak kalah melimpah untuk mencukupi kebutuhan pangan, dengan kurang lebih seperempat penduduknya yang mengais hidup dan rizki dari komoditas laut, semisal ikan, lobster, maupun rumput laut (leminti, agar-agar, injen-injen) dan banyak lagi komoditi kekayaan laut lainnya. Kendati akses informasi dan sentuhan teknologi kurang begitu menggembirakan disebabkan karakter wilayah yang dikepung pengunungan dan perbukitan tinggi menjulang. Belum lagi jalur panjang dan berkelok yang menjadi ciri wilayah-wilayah yang dilintasi pegunungan kapur hampir di sepanjang daerah selatan pulau Jawa. Hal ini tak menyurutkan semangat masyarakatnya dalam meraih mutu pendidikan yang lebih baik. Meski, barangkali saja benar, Munjungan termasuk daerah marjinal dalam arus besar kabupaten Trenggalek, yang sebagian faktornya memang disebabkan jangkauan jalur yang sulit. Namun ingat, kota kecamatan ini tetap merupakan penyumbang income terbesar untuk kabupatennya.
Melimpah dan kerapnya penduduk pesisir makan ikan misalnya, kemungkinan juga berpengaruh besar pada pertumbuhan badan dan pikiran (gizi yang baik) dibanding konsumsi daging binatang macam ayam, kambing atau sapi. Baik ikan air laut maupun air tawar tentu adalah sama-sama lauk yang bergizi tinggi. Ikan zaman dulu bukankah juga dikonsumsi oleh berbagai tingkatan masyarakat; baik priyayi ataupun masyarakat biasa (jelata). Di daerah-daerah pedesaan, makanan banyak disajikan dengan daun pisang sebagai alas makan. Talas dan umbi-umbian, ketela (selain beras/padi) adalah makanan tambahan yang banyak terpasok di daerah ini. Bahkan sego thiwul yang terkenal itu (yang dari bahan baku ketela kering atau gaplek) adalah makanan yang sangat khas di Trenggalek. Dari mana makanan seperti ini banyak dihasilkan kalau tidak dari kecamatan pesisir dan pegunungan seperti Munjungan, Panggul, Dongko, Pule, Watulimo dan semisalnya. Pohon kelapa, pisang, ketela dan kacang-kacangan misalnya lagi adalah tumbuhan yang hampir tiap petani punya. Makanan-makanan itu biasanya disuguhkan bagi siapa saja yang bertamu di daerah-daerah pedesaan di kawasan kecamatan Munjungan. Berbeda dengan masa lampau, yang hidangan untuk tamunya, antara lain, berupa sirih dan buah pinang.
Zaman saya dulu masih kecil, kerap sekali saya jumpai nenek-nenek sepuh menyirih, kebiaaan itu seperti yang saya lihat jamak dilakukan para wanita. Alasan yang kudengar dulu itu, menyirih adalah aktivitas yang berguna untuk menguatkan gigi. Menurut apa yang pernah dipaparkan Anthony Reid dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (hlm 49), menyirih memang semacam makanan beramah tamah di kawasan Asia Tenggara. Makanan yang mengandung narkotika lunak ini, menurut Reid, setidaknya memerlukan campuran tiga bahan pokok –buah pinang, (reca catehu), daun sirih (piper betle) atau di Indonesia bagian timur menggunakan kacang-kacangan dan semacam bunga pohon-pohonan yang panjang halus dan terkulai ke bawah (catkin) dan terakhir adalah kapur (kapur di sini barangkali maksudnya adalah enjet). Kata Reid, menyirih dengan pinang ini adalah asli kebudayaan (dari) Asia Tenggara. Ketiga bahan ini dapat menghasilkan liur merah yang biasanya kerap diludahkan ke luar oleh sorang pengunyah. Menurut Antony Reid, kedudukan sirih-pinang, dalam pergaulan sosial dulu, mirip dengan kopi, teh, minuman keras atau rokok dewasa ini.
Munjungan sejak zaman dulu memang telah dikenal di bidang pertanian dan perkebunannya. Daerah ini dikenal penghasil cengkih, kopi, kopra, buah pisang dan buah durian dari sektor perkebunan. Lalu padi, kedelai, dan umbi-umbian sedikitnya, dari sektor pertanian. Tapi terkadang, justru makanan dan iklim yang menyenangkan bagi masyarakat inilah yang bisa memberikan waktu sekadar untuk hal yang sifatnya tak kreatif dan defensif.
Di pantai Munjungan tergelar kapal-kapal tradisional penangkap ikan milik nelayan. Rata-rata kapal-kapal itu dibikin dari kayu. Ada kapal ikan slerek, kapal payang, kapal jukung, kapal mancung, juga kapal fiber --yang datang belakangan posisinya kian menggeser keberadaan kapal jukung-- dengan peralatan yang sama-sama sederhana. Kompas dan arah sering bersandar pada alam. Pula tergelar pelabuhan ikan sederhana juga tempat-tempat rekreasi yang juga ala kadarnya. Terkesan asri dan alami. Pelabuhan yang besar di Trenggalek saya rasa adalah pantai Prigi. Di Munjungan pantai terlebar adalah pantai Blado dengan laut lepas dan debur ombak yang tinggi. Selain itu juga ada Pantai Ngadipuro yang letaknya di sebelah barat Pantai Blado, kemudian Pantai Dadapan, Pantai Ngampiran lalu Pantai Dukuh. Pantai Ngampiran adalah salah satu pantai terindah di sini, dengan butiran pasir putihnya.
Teluk Sumbreng yang dikitari pantai Blado lumayan lebar, dengan garis pantai yang melengkung indah. Kapal-kapal ikan merapat di sisi kiri atau sebelah timur. Dengan lereng-lereng pantai dan batu hitamnya yang eksotis menjulang gagah. Batu-batu hitam itu diselimuti lumut dan melapuk, seolah karat yang melumuri besi tua. Di Pantai Blado ini, para nelayan tak lebih sibuk dari nelayan di Pantai Prigi. Bahkan banyak kapal-kapal ikan nelayan Munjungan yang melempar hasil tangkapannya untuk dijual di pelabuhan pantai Prigi. Masih beuntung dengan jalur maut di utara seperti itu, Munjungan tak hendak jadi kota kecamatan terkulai. Ia masih terus terlindungi oleh ramai riuh pantai dan kreativitas masyarakatnya yang seolah tak pernah mati. ***
MISBAHUS SURUR
(Editor buku Rengkek-Rengkek; Senarai Catatan dan Kisah (Per)jalan(an) di Kota Trenggalek, kelahiran Munjungan)
0 Response to "Jalur Pesisir Pantai Munjungan"
Post a Comment