Jalan Kecil Menembus Dongko Munjungan #Part 2 (selesai)


... Saya benar-benar kerepotan bila melewati jalan menurun curam dengan aspal yang hilang sama sekali. Bukan saja kondisi aspal yang hanya menyisakan makadam itu yang bikin perjalanan itu sulit. Lebih buruk lagi, batu-batu kecil yang memenuhi makadam, mengisi celah-celahnya -yang sama sekali tak menyuguhkan bagi kita pilihan mendaratkan roda itu- hampir-hampir bagi saya, mirip kirikil mengapung di lautan pasir miring. Dipastikan, kalau ban motor kita menginjaknya, terlebih bagi yang tak punya pengalaman melintasi jalan-jalan buruk pegunungan, berpeluang besar tergelincir dan berpeluang besar pula untuk terjatuh. Karenanya, setiap menghadapi jalan landai seperti itu, bisa dipastikan saya selalu berhenti beberapa detik. Sekadar untuk memilih lalu memastikan di antara permukaan-permukaan jalan yang buruk itu, mana yang berpeluang untuk saya lewati dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Minimal kalkulasi matang untuk meminimalisir saya terpeleset atau kemungkinan terjatuh.

Intinya, saya seperti membikin perhitungan pendek dengan jalan-jalan tersebut. Namun setiap berniat menjalankan motor lagi, serasa saya seperti terus diburu kebimbangan-kebimbangan. Ingin sekali rasanya balik arah saja. Namun barangkali benar kata orang, di saat manusia kepepet atau terdesak, tubuh kita bisa langsung mengambil keputusan. Dan ini terjadi pada hampir di semua kesulitan maupun persoalan yang mencoba melabrak kita dalam waktu dan pada kondisi-kondisi tertentu. Termasuk saat kita berhadapan dengan medan-medan pegunungan yang mencemaskan begini ini.

Untuk perlintasan Dongko-Munjungan, jalur menurun yang curam dengan kondisi buruk, hampir selalu ada di sepanjang jalur; baik di wilayah Munjungan maupun saat kita memasuki Dongko. Di wilayah Dongko, jalannya agak bagus, kendati jalan menurun dan tingkat keterjalannya juga lumayan bagus (bagus untuk tingkat keburukan posisi turunnya). ”Jujur, saya lebih menyukai jalan yang naik seberapapun derajat posisi nanjaknya, ketimbang disuruh menapak di jalan yang lebih banyak turun.” Ihwal jalur Dongko-Munjungan, andai saja ada yang menyuruh untuk memilih, tentu  saja saya lebih menyukai jika memulai berangkat dari Dongko. Tersebab permukaan ”yang buruk dan ngeri” itu mayoritas jalan dalam posisi naik. Sementara untuk jalan menurun, banyak yang aspalnya masih lumayan bagus. Adapun kalau memulai perjalanan itu dari Munjungan adalah kebalikannya: jalan naik lumayan bagus, giliran turun sangatlah buruk. Ini yang saya rasa sangat menyulitkan perjalanan itu. Barangkali pembaca-pengendara sekalian ada yang sependapat dan bersetuju dengan saya, untuk soal yang satu ini? Ya, kendati yang tersulit sebenarnya tetap adalah soal memantap-netapkan konsentrasi kita pada jalurnya kembali; setir motor dan kelokan marka yang tak beraturan.
Pertigaan Watu Agung menuju arah Kayu Ireng juga Gembes, jalan naiknya begitu panjang. Panjang sekali mirip rengkek-rengkek di jalur Munjungan (yang belum pernah ke Munjungan melalui Kampak, tentu saja tak akan siap membayangkannya!). Bedanya jalurnya lebih kecil dan berbelok-belok. Kalau jalan rengkek-rengkek naik cuma dengan kelokan yang tak seberapa, tak terlalu nyeklek. Belok-belokan hanya sebagai kembangan. Kendati sama-sama hampir jejek porsi naiknya. Namun, tentu saja jalur ini permukaannya berlubang, kerikil morat-marit, lebih sulit dituruni daripada dinaiki.

Terkadang menghadapi jalan-jalan seperti itu saya pikir harus bisa lebih luwes. Misalnya dengan benar-benar menikmatinya. Dan yang lebih penting menghikmatinya; melatai kerikil-kerikil itu, sebutir demi sebutir. Merasakan desiran angin gunung dan perbukitan, yang berkejaran dengan desir di dada kita, juga detak jantung dan keringat dingin pada tangan. Menghikmati detail-detail permukaan-permukaan aspal yang telah lama renggang pori-porinya. Entah dengan suasana tegang atau menantang, yang kita miliki. Lalu menikmati sentuhan ban di permukaan jalan, seolah kita menyatu dengan tunggangan kita (bayangkan saja kita sebagai pengendara kuda atau juga burung di film Avatar). Di mana jiwa dan perasaan si pengendara menyatu dengan tunggangan, hanya dengan menautkan kepangan pucuk rambut si penunggang dengan rambut kuda. Atau jika yang dikendarai burung, menautkan sungut burung tunggangan itu dengan rambut kepangan kita. Ya, seolah-olah kita berdamai dengan jalanan sulit. Meski harusnya kita berdamai dengan alam atas hasrat kita yang melulu ngiler merampoki keindahannya. Ah, soal jalan buruk, bukankah ini masih urusan, pekerjaan rumah dan tugas wajib pemerintah setempat yang melulu dibengkalaikan?

Saya rasa hal di atas cuma usul iseng. Katakanlah macam siasat untuk membendung rasa kecut lagi takut di jalanan sulit. Sejenis cara pula agar bisa menikmati lagi menghayati perjalanan di jalur yang sulitnya minta ampun dengan kenyamanan yang tetap terkendali. Dan jangan lalai, kita tetap punya tanggungjawab pada diri sendiri: mengembalikan tiap detik kesadaran bahwa kita berada di jalan pegunungan. Sebab, tentu perlu konsentrasi yang ekstra. Apalagi, setelah jengkal demi jengkal yang lalu kita melulu dihajar kerumitannya: buruknya jalur pegunungan itu. Meski, ya, jalan gunung itu, serasa panjang dan tak ada habisnya. Dan kita seperti terus berkubang di sungai penuh batuan dengan sampan dan dayung yang terus digencet ketakutan. Kelak, saat kita telah menjadi terbiasa melintasi jalur-jalur pegunungan berat seperti itu, dari rutinitas jalanan itu pelan-pelan akan terbentuk pula, rutinitas tubuh kita yang siap menerima dan menghadapi segala permasalah yang timbul dari kondisi hidup yang dikerubungi alur gunung dan bukitan. Dan sesungguhnya, kesanggupan kita mendayakan guncangan dan watak jalanan itu, akan menjadi bekal dan bagian tak terpisahkan dari asal serta tradisi hidup orang wilayah ini. Yang dibentuk dari keringat hutan dan oksigen pegunungan. Keterkaitan kita yang begitu besar dengan alam hijau serta rangkaian pegunungannya, berada di sini. Di mana kita, bahkan semua orang, lahir dan (di)tumbuh(kan) dari sana.

Nah.., di tengah jalan itu pula, entah bagaimana mulanya, pikiran saya kerap membayang-bayangkan perihal narasi gunung dan bukit dari sedikit buku maupun novel yang saya bacai. Pula pada saat itu, saya terbersit begitu saja oleh sebuah catatan buku sejarah yang bagi saya cukup penting. Yang pernah saya baca beberapa tahun lalu. Saya tak tahu persis di mana jalur sambungnya. Barangkali karena terseret bayangan-bayangan semacam kesepian di jalan itu tadi. Atau selintas inspirasi yang mampir kebetulan. Yang bikin otak menerawang (atau barangkali melamun) ke mana-mana. Sebab, di tengah jalan yang begini sempit dan sunyi, hanya ada dua macam teman bagi kita: suara raungan motor, juga sesekali suara desir hutan. Buku itu, Engineers of Happy Land-nya Mrazek. Tepatnya pada halaman-halaman awal ihwal kisah ekspedisi Belanda tahun 1891. Ekspedisi yang dikepalai Siak Ijzerman dan 3 orang kompeni Londo lainnya. Dan selebihnya adalah penduduk pribumi. Ekspedisi jalan kaki yang terencana. Ekspedisi yang dimulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 4 sore itu, dilakukan tiap hari dari matahari terbit, hingga 2 jam sebelum tenggelam. Dengan bekal peralatan dan makanan secukupnya. Kisah sekelumit ini, seolah mirip-mirip kisah film petualangan di hutan atau sebuah perburuan harta karun. Yang selalu siap diintai bandit-bandit dan penjarah lokal. Lengkap dengan revolver dan makam-makam bagi mereka yang telah mati demi mempertahankan diri. Kata Mrazek, penggalan-penggalan ini sebagai sarana untuk menguatkan kesan dan nuansa wild west-nya. Tapi kalau kita telusuri lebih dalam, gerombolan tersebut sebenarya adalah rombongan ekspedisi. Bukan rombongan bandit asing, atau pencari harta karun berupa emas batangan macam yang ada di film. Bukan pula sekadar peziarah alam yang ingin melunas-hilangkan rasa hampa. Ini adalah sebuah ekspedisi keilmuan demi hasrat penemuan-penemuan di ranah pengetahuan. Selain juga ikhtiar menyibak hutan untuk jalur kereta pertama.

Sebuah perjalanan menyusuri hutan di mana ”alam liar yang mereka lewati tampak membuka dirinya” untuk meminjam kalimat pendek di buku Mrazek itu. Atau dalam kata lain, alam begitu ramah pada mereka. Bukan seperti gambaran yang ada pada film Journey to the Center of the Earth, di mana alam liar terlihat kurang begitu ramah. Meski perjalanan di situ, selain mengagumkan juga mendebarkan. Sebab di sini, dalam perjalanan di perlintasan Munjungan-Dongko ini, pun kisah yang ada dalam buku Mrazek, tak pernah ada tumbuhan yang menyergap atau menguntit kaki. Tak ada tanaman sejenis ganggang atau tumbuhan paku yang bisa melumat kepala. Tak ada hewan purba macam dinosaurus dan sejenisnya, yang kelaparan mengejar-ngejar kita. Tak ada keluarga ular boa yang mengintai. Dan tak ada pula dedaunan yang bisa membikin kulit bengkak atau perut kita tiba-tiba keracunan sehabis mengunyahnya. Buku bahan yang dirujuk Mrazek itu sendiri, adalah sebuah buku kenangan tentang ekspedisi yang pernah ditulis J.W Ijzerman. Judulnya Dwars door Sumatra: Tocht van Padang naar Siak terbitan Haarlem, tahun 1895.

Hmm.., menyusuri jalan pegunungan yang asing adalah serupa menyusuri labirin. Jika menyusuri jelujur teks, sedikitnya kita kerap menemukan kejutan-kejutan berupa fantasi tak biasa, juga serangkain kalimat dan idiom mengejutkan. Pada jalan hutan, kejutan itu barangkali bisa berupa jalan-jalan berlubang, jalan yang kelihatan hilang, tikungan mengerikan, lengkung jalan yang tergenang pasir dan juga kerikil-kerikil mengapung tentunya. Selain aspal pada kemiringan yang mencengangkan. Ini terkait dengan jalan di pegungan yang dikepung hutan. Sebab, di dalam hutan, kejutannya saya kira akan lebih banyak lagi.

MISBAHUS SURUR
Penulis Dari Munjungan 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jalan Kecil Menembus Dongko Munjungan #Part 2 (selesai)"

Post a Comment