Rukijo: Desa bisa menerima dana lebih
dari 2,5 Milyar.”
JAKARTA –Di masa depan desa memiliki sumber daya yang
cukup besar untuk mendukung kemandirian masyarakat. Dana tersebut berasal dari
tujuh sumber pendapatan yakni APBN, alokasi Dana Desa (ADD), bagi hasil, pajak
dan retribusi, bantuan keuangan APBD Propinsi/Kab dan Kota, hibah dan lain-lain
yang sah dan tidak mengikat. Jika digali dan dikelola dengan benar, desa bisa
menerima lebih dari 2,5 Milyar. Demikian disampaikan Rukijo, Direktur Dana
Perimbangan Kementerian Keuangan RI dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI) di Jakarta, 20 Desember
2014.
Namun sayangnya, masyarakat seringkali hanya terfokus
pada dana desa yang bersumber dari APBN saja. Padahal seperti diakui Rukijo,
penganggaran dana yang berasal dari APBN itu masih menyisakan berbagai
ketidakpastian akibat data jumlah desa yang terus berubah. “Data terakhir per
10 Desember adalah 74.045 desa,” ujarnya.
Selain itu, tidak mudah untuk menghitung alokasi dana
per desa yang sering kali memancing ketidaksabaran. Seperti diketahui, alokasi
dana desa dihitung dengan mempertimbangkan jumlah penduduk desa, jumlah
penduduk miskin, luas wilayah desa dan tingkat kesulitan geografis. “Akibatnya
angka yang dihasilkan bisa sangat beragam dan ini berpotensi pada konflik antar
kepala desa.”
Sementara itu, di hadapan 200 fasilitator yang berasal
dari 30 provinsi, Budiman Sujatmiko mengakui peran penting fasilitator pasca
implementasi UU Desa, namun ia mengingatkan perlunya revolusi mental di
kalangan para pendamping ini. “UU Desa tidak hanya membawa sumber pendanaan
pembangunan bagi desa, namun juga memberi lensa baru pada masyarakat untuk mentransformasi
wajah desa. Fasilitator dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan itu.”
Hal senada disampaikan oleh Arie Sujito. Menurut Dosen
Sosiologi UGM yang juga peneliti IRE ini, pendamping desa tetap diperlukan. Namun
mindsetnya harus diubah dari pendamping proyek menjadi pendamping masyarakat,
dari fasilitator mekanik menjadi fasilitator organik. “Kalau fasilitator masih
mendominasi dan menempatkan masyarakat sebagai obyek, maka sejatinya ia tidak
melakukan pemberdayaan, namun kolonialisasi.”
Dalam kesempatan yang sama, Prabawa Eka Soesanta,
Badan Diklat Kemendagri dan dewan pakar IPPMI mengingatkan kembali tentang
kredo fasilitator yakni pergi kepada masyarakat, tinggal bersama mereka, cintai
mereka, layani mereka, belajar dari mereka, bekerja dengan mereka dan mulai
dari apa yang mereka miliki. “Fasilitator adalah motivator, dinamisator dan
katalisator bagi masyarakat, “pungkas Prabawa.
Dalam Rakernas ini, IPPMI mengeluarkan dua rekomendasi
penting yaitu mendesak Presiden Jokowi memastikan implementasi UU Desa tahun
2015 melalui penguatan desa dan pendampingan, serta memberi perhatian khusus
pada aset-aset yang berasal dari program-program pemberdayaan masyarakat
berbasis desa. Kedua, pendampingan masyarakat desa ke depan harus
mempertimbangkan kompetensi, dan dilakukan secara berjenjang sesuai dengan
karakteristik wilayah perdesaan dan komunitas yang didampingi.
Pernyataan Identitas:
Ikatan
Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI) adalah organisasi wadah
perkumpulan para pelaku pemberdayaan masyarakat yang telah mengembangkan
jejaring pelaku yang tersebar di 27 provinsi dan melakukan kaderisasi bagi
sedikitnya 300 ribu pelaku di 365 kabupaten, 4762 kecamatan dan 46413 desa
dengan ini juga menyatakan siap untuk terus meningkatkan kompetensi dan
kapasitas anggota sebagaimana tuntutan perubahan paradigma, sistem, serta
mekanisme pendampingan di masa mendatang.
Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi Grace
Palayukan, email: gpalayukan@ippmi.org
dan HP 08129333480
0 Response to "GERAKAN TRANSFORMASI PENDAMPING DESA"
Post a Comment